UN: UJIAN NASIONAR
Akhirnya UN berlalu. Agaknya UN tahun ini tidak dapat disebut ujian nasional, lebih tepat disebut ujian nasionar sebab telah membikin onar.
Keonaran pertama muncul saat diumumkan adanya penundaan pelaksanaannya di sebelas provinsi. Tidak ada yang tidak kaget. Para pejabat, guru, dan orang tua murid resah gelisah. Suasana tidak pasti meliputi. Sejak kehadirannya pertama kali ujian ini memang berhasil memunculkan histeria massa. Bukan hanya murid yang menghadapi ujian yang merasakan betapa kuatnya daya rusak ujian ini terhadap kondisi psikologis, para orang tua, guru, bahkan para pejabat daerah dibuat was-was. Namun, tahun ini berbeda sama sekali. Di samping tekanan psikologis ada rasa kecewa yang mendalam. Para murid yang telah bersusah payah mempersiapkan diri harus menerima kenyataan, ujian ditunda. Pastilah ada rasa hampa jiwa. Betapa tidak, ujian yang dinantikan dengan was-was itu tidak jadi digelar. Ujian nasionar sungguh berhasil menteror para siswa.
Keonaran kedua adalah soal siapa yang bertanggung jawab terhadap kekisruhan UN. Mendikbud langsung menuding yang bertanggung jawab adalah Kepala Balitbang, BSNP, dan percetakan Ghalia. Tentu saja ini pemandangan yang kurang elok. Tatkala suasana panik dan penuh ketidakpastian mestinya menteri sebagai orang nomor satu di kementerian mengajak semua fihak untuk sama-sama fokus mengatasi masalah yang menyangkut nasib anak bangsa yang jumlahnya tidak sedikit. Apalagi kita mafhum, nalar birokrasi mengharuskan kita mengambil simpulan menteri sebagai pimpinan tertinggi adalah pihak yang paling bertanggung jawab. Sebab semua kendali ada dalam genggamannya. Kekisruhan UN menegaskan ada yang tidak beres dalam tata kelola dan tata kendali di kementerian. Dalam konteks ini, rasanya tidaklah memadai bila menteri hanya sekedar meminta maaf. Harusnya Ia mengundurkan diri. Sebagai ungkapan rasa tanggung jawab. Bukannya ngotot saat ada desakan mundur.
Keonaran ketiga adalah buruknya kertas jawaban. Jangan dikira yang bisa mengikuti UN tidak menghadapi masalah. Mereka was-was, gelisah, resah, takut, khawatir, cemas,dag dig dug, dan empot-empotan. Betapa tidak. Kertas jawaban yang ada dihadapan mereka sangat tipis, gak setipis tisu sih, tebal dikit dari tisu lah. Bila dihapus sekali hurufnya hilang, dua kali kertasnya bisa bolong. Jadi, para peserta UN mengalami gak enaknya diteror kertas jawaban. Kabarnya Bareskrim Polri yang sedang memeriksa kasus ini sudah mengumpulkan kertas ujian dari berbagai tempat dan diduga memang tidak memenuhi standar. Tampaknya ada yang mau cari untung dari perbedaan ketebalan kertas. Pelakunya kelihatannya mau saingan dengan pemulung kertas di tempat sampah. Jika benar ini terjadi, pelakunya pastilah lahir atau minimal berasal dari tempat sampah!
Rasanya keonaran UN masih akan berlanjut. Kabalitbang Kemdikbud mengundurkan diri sebagai ungkapan rasa tanggung jawab. Bareskim Polri telah memeriksa Pejabat Pembuat Komitmen UN. Entah siapa lagi yang akan diperiksa. BPK juga sedang sibuk melakukan investigasi. KPK tak mau ketinggalan memeriksa anggaran UN. Sementara itu tim investigasi Itjen Kemdikbud menemukan sejumlah pelanggaran serius. Ini bermakna yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan UN akan menghadapi penegak hukum. Ada yang menarik terkait pengunduran diri Kabalitbang. Sebuah media bertanya pada Kabalitbang, apakah ada intervensi staf ahli dalam kebijakan-kebijakan UN. Kabalitbang menyatakan tidak ada. Yang menarik bukan jawaban Kabalitbang, terapi pertanyaannya. Mengapa sampai ada pertanyaan tentang intervensi staf ahli? Para pejabat di Kemdikbud tentu tahu jawabannya. Soal staf ahli ini suatu saat rasanya akan muncul keonaran baru.
Sejak kemunculannya UN telah berhasil menjadi teror bagi banyak orang. Kini UN juga mampu menimbulkan keonaran dan tetap memiliki daya teror yang luar biasa. Namun, UN tampaknya belum mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita. Jika tidak percaya analisis lah argumentasi Pemerintah yang diwakili Kemdikbud. Kemdikbud sekarang sedang sibuk sosialisasi Kurikulum 2013. Salah satu alasan diluncurkannya Kurikulum 2013 adalah rendahnya mutu pendidikan kita. Untuk menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan itu ditampilkan sejumlah angka dan bukti. Jadi, disadari atau tidak, Pemerintah mengakui telah gagal meningkatkan mutu pendidikan. Pengakuan itu juga bermakna bahwa UN telah gagal memenuhi tujuan utamanya. Jika demikian keadaannya, rasanya tidak usah lagi kita berdebat, bersitegang dan bersilat lidah. UN CUKUP SAMPAI DI SINI SAJA!
Salam
Nusa Putra
Dipublikasi di Blogroll
Dengan kaitkata Ujian nasional
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.