Urgensi Mata Pelajaran TIK & Terputusnya Mata Rantai Digital

Slide1

[URGENSI MAPEL TIK, PUTUSNYA MATA RANTAI DIGITAL]

Saat dialog sudah dijalankan, saat diskusi sudah dilakukan, saat bertukar pikiran sudah dilaksanakan, bahkan beberapa rekan guru rela dan ikhlash hati pergi ke Senayan untuk bertemu langsung dengan Pak Menteri saat itu sampai saat ini dan belum juga membuahkan sesuatu hal yang baik, maka kekuatan Media Sosial menjadi sedikit jalan kecil untuk menyuarakan suara hati para guru TIK/ KKPI di seluruh Indonesia.

Sudah hampir 4 tahun saat digulirkan oleh Menteri Pendidikan kala itu, TIK menjadi polemik. Entah apa yang ada di benak Pak Menteri saat itu saat menggulirkan Kurikulum baru dengan dana yang sebegitu besarnya tetapi menepikan TIK dalam posisi terkucilkan.

Barulah saat pro kontra bermunculan dengan berbagai isu dan kepentingan terbitlah Permendikbud No. 68 Tahun 2014 ketegangan dan kepanikan para Guru TIK/KKPI mulai agak mereda walau sebenarnya masih banyak yang berharap mapel TIK/KKPI dimasukkan kembali dalam struktur kurikulum bukan “sekedar bimbingan”. Permendikbud No. 68 Tahun 2014 yang kemudian “diperkuat dan diperjelas” lagi dengan Permendikbud No. 45 Tahun 2015 sangat jelas menerangkan “nomor kursi” tempat duduk guru TIK dalam Bis “Kurikulum 13”.

Tapi yang terjadi di lapangan benar seperti yang sudah diperkirakan oleh banyak Guru TIK/KKPI sebelumnya, para pemangku kepentingan pendidikan di tingkat daerah atau sekolah belum sepenuhnya memahami kejelasan regulasi tersebut. Tidak mengherankan jika sampai sekarang banyak guru TIK/KKPI merasa “terdzalimi” dengan Regulasi tersebut akibat belum dijalankannya amanat regulasi tentang Peran Guru TIK/KKPI di sekolah dalam Kurikulum 13 ini.

Berkaca pada kenyataan di lapangan saat implementasi Kurikulum 13 ini dijalankan yang terjadi adalah : BK/TIK tidak dijalankan entah dengan alasan tidak ada jam, implementasi kurang jelas, tenaga dibutuhkan untuk mengajar mata pelajaran lain, atau beragam alasan yang lain. Walau sebagian sekolah sudah “terbuka” wawasan dalam memahami arti regulasi guru TIK/KKPI dalam memberikan 1 jam pelajaran dalam waktu 1 minggu pelajaran masuk kelas, bukan hanya sekedar masuk jam “ekstra krikuler”.

Banyak guru TIK/KKPI yang beralih profesi menjadi guru mata pelajaran lain dengan alasan jam mapel tersebut kelebihan. Inilah potret pendidikan di Indonesia, bagaimana sebuah ilmu diberikan tanpa keluasan ilmu dari sang pemberi ilmu, kalau dalam agama Islam ilmu itu terputus sanad-nya. Meminjam istilah barat “The Right Man in The Wrong Place”.

Urgensi TIK bagi siswa tidak hanya sekedar siswa mampu bermain media sosial di HP karena TIK tidak hanya sekedar “mengetik”. Kalaupun mungkin TIK hanya sekedar mengetik tentulah anak-anak seperti Mbak Afi tidak akan mudah melakukan plagiasi sehingga dijuluki “AFI (Asli Flagiator Indonesia)”. TIK mengajarkan moral dan akhlaq bagaimana menghormati HAKI sehingga tidak mungkin bangsa Indonesia menjadi Bangsa Plagiator kalau betul belajar TIK-nya.

Siswa sekarang yang mengalami K13 akan menjadikan mata rantai digital TIK di dalam karakter pendidikan akan hilang, sehingga jangan salahkan mereka jika kelak dewasa dalam pekerjaan mereka mereka akan bingung mengoperasikan komputer jangankan saat bekerja, sebagai persiapan Ujian Nasional Berbasis Computer pun mereka akan bingung.

Jangan bandingkan kemampuan satu anak dalam bidang TIK sama dengan yang lain, karena masih banyak anak-anak yang bahkan sampai kelas IX SMP masih belum pernah mengoperasikan komputer karena ketakutannya memegang mouse atau mengetik menggunakan keyoard.

Inilah yang seharusnya disadari khususnya pemangku kepentingan dalam pendidikan, walau mungkin TIK bukan lagi sebuah mata pelajaran dan itu sudah menjadi kebijakan yang boleh dibilang “blunder” fatal dan menggantinya dengan “BK/TIK”. Apapun regulasinya seharusnya diterapkan bukan mengabaikannya dan menjadikan guru TIK sebagai guru “hangabehi”.

Bayak rekan guru TIK khususnya yang GTT ataupun di mengajar di sekolah swasta akhirnya tidak mendapatkan jam (NOL JAM) karena sekolah menganggap BK/TIK tidak begitu penting. Hanya karena rasa kemanusiaan saja mereka masih diperkerjakan dengan diberi jam mata pelajaran lain semisal prakarya atau seni budaya. Lagi-lagi guru TIK seakan menjadi korban “kesemrawutan” Kurikulum 13. Lagi-lagi seseorang dengan kompetensi yang berbeda “dipaksakan” untuk bekerja dengan “kompetensi” lain. Bagaimana kemampuan anak bisa optimal jika kompetensi gurunya bukan di bidangnya?

Pemenuhan guru TIK sebagai guru BK/TIK bukan hanya sekedar menjadikan tunjangan profesi guru tersebut akan berjalan dengan lancar, bukan itu pokok permasalahannya. Tetapi pemenuhan hak sebagai seorang pengajar untuk mengajar sesuai dengan kompetensi dan keahliannya bukan sebagai “penambal” untuk mata pelajaran lain. Andaikan berjalan sebagai guru TIK dan menjadi BK/TIK, logikanya bagaimana bisa membimbing? Ketemu anak saja tidak pernah?

Akhir tulisan ini, saya hanya ingin menegaskan buat rekan-rekan guru TIK, katakan dengan tegas SAYA Guru TIK, bukan guru olahraga, bukan guru seni budaya, bukan guru prakarya! Kembalikan mapel TIK atau jalankan amanat regulasi dengan memberi waktu 1 jam masuk kelas bukan sekedar ekstra kurikuler!

Penulis adalah Guru TIK

Komentar ditutup.