Daily Archives: Agustus 1, 2018

Guru Menjadikan Saya Sebagai Pribadi yang Sabar, Kuat dan Tangguh

GURU MENJADIKAN SAYA SEBAGAI

PRIBADI YANG SABAR, KUAT DAN TANGGUH

Oleh: Lilik Muharian Sari, S.Pd

 

 

Saya terlahir dari keluarga guru mulai dari ibu, kakak, paman dan tante saya kebanyakan bergelut dibidang  pendidikan ini. Guru telah menjadikan saya sosok yang sabar, ikhlas dam tangguh, mengapa saya katakan demikian? Itu semua karena selama menjadi guru saya telah mengalami semua ujian hidup dengan bertemu orang-orang dengan berbagai macam karakter, mulai dari lembut, kasar, pemarah, pencela, dan banyak lagi karakter-karakter lainnya. Saya menjadi seorang guru berawal dari ibu, ketika itu saya pulang dari merantau dan belum memiliki pekerjaan tetap akhirnya datang tawaran untuk menjadi guru bahasa Inggris di sekolah yang kebetulan berada dekat dengan kediaman kami. Gayungpun bersambut dengan tanpa berpikir panjang saya menerima tawaran itu tanpa memandang upah yang bakal saya dapatkan setiap bulannya.

Waktupun berjalan, disinilah awal itu bermula maklum sebagai seorang tenaga honorer kita harus siap kerja melebihi ketentuan yang telah ditetapkan dan terkadang tidak sesuai dengan kontrak kerja yang kita tanda tangani yang jelas keja …kerja …kerja lebih dari guru PNS yang sama pendidikan dan latar beakangnya dengan kita hanya saja nasib, status dan gajinya saja yang berbeda namun kita harus siap walau itu terasa berat dan menyakitkan.

Saya mendapat honor dengan upah Rp.450.000/ bulan dengan jumlah jam mengajar 24 jam/ minggu. Selain itu saya juga diperbantukan kerja di staf TU dan terkadang mengisi jam kosong jika guru yang bersangkutan tidak hadir. Jika ada ujian nasional atau tamu dari luar kami juga harus siap dengan kerja tambahan yang lain termasuk mencuci piring.

Berat memang kalau mau dihitung, akan tetapi kita harus siap, belum lagi menghadapi tingkah pola guru PNS dengan bebagai macam karakter tadi. Sampai suatu ketika setelah 5 tahun bekerja sebagai tenaga honorer ada kabar gembira datang dari pemerintah bahwa akan ada pengangkatan lewat jalur honorer dengan syarat telah mengabdi diatas 5 tahun untuk diangkat  menjadi guru PNS.

Sayapun mencoba mengadu nasib untuk itu, singkat cerita dengan tekad, keikhlasan dan kesabaran saya dalam bekerja  Allah SWT membalasnya dengan kado terindah, ya… saya lulus tes PNS lewat jalur honorer di tahun 2010. Tapi kelulusan itu belum menjadi sesuatu yang indah karena kami masih harus bersabar melewati banyak ujian meski telah lulus, karena status belum berubah masih tetap honorer sampai menunggu SK pengangkatan kami keluar sebagai bukti sah menjadi seorang Guru PNS.

Sebagai seorang guru honorer, meski telah dinyatakan lulus PNS, saya tetap mengerjakan seperti layaknya seorang honorer di sekolah kami. Hingga pernah suatu ketika gaji saya diturunkan dengan berbagai macam alasan oleh kepala sekolah yang menjabat saat itu, dan sayapun menerima dengan lapang dada  karena saya berpikir bahwa saya bekerja ikhlas karena Allah bukan diukur dari berapa besaran gaji yang saya terima sebagai seorang guru honorer dan saya tetap sabar menjalani pekerjaan yang kapasitasnya tidak berubah akan tetapi upahnya yang berubah.

Setelah lama penantian dari waktu kelulusan ditahun 2010, maka dibulan Juli tahun 2014 SK CPNS sayapun keluar, hingga sekarang saya telah menjalani profesi saya sebagai seorang guru PNS selama 4 tahun dengan segala suka maupun duka, karena saya yakin Allah SWT tidak pernah tidur untuk selalu mengawasi kerja kita dan akan membalasnya dengan sesuatu yang baik pula buat kita selama yang kita kerjakan sesuai dengan apa yang Allah harapkan dari kita. Menjadi seorang guru yang hanya bercita-cita untuk mencerdaskan anak bangsa ini dengan menjalani profesi sesuai dengan koridornya serta dibarengi dengan rasa tanggung jawab, ikhlas hanya semata untuk mengejar ridho dari-Nya.

                                                                                       By,

                                                                                       Lilik Muharian Sari, S.Pd

Aku dan Rasaku Sebagai Guru

Aku dan Rasaku sebagai Guru

Oleh: Raihana Rasyid

foto p2m17-5

Dalam keseharianku sebagai guru, mentransferkan ilmu pengetahuan, menyampaikan pesan moral atau bahkan bercerita kisah inspiratif bersama anak didik, rasa  suka dan duka pastinya ada. Tetapi ketika diminta menuliskan semua rasa itu bukanlah perkara yang mudah. Butuh olah hati, olah rasa, olah pikir dan olah raga agar kata-kata yang kurangkai ini terasa indah dan yang paling penting dapat menyampaikan pesan yang akan kusampaikan pada orang yang membacanya.

Bagiku, menjadi guru adalah suatu keniscayaan. Berangkat dari keluarga yang berlatar belakang guru, bagiku guru menjadi salah satu mahluk Allah yang harus tampil “sempurna”. Bagaimana tidak, sejak kecil aku sudah mengerti bahwa guru harus menjadi sosok yang bisa digugu dan ditiru. Aku menemukan hal itu pada ayahku yang juga seorang guru. Hal yang tidak bisa kulupakan  dari sosok ayahku adalah bagaimana beliau sangat dihormati dan disegani oleh sesama rekan guru dan para siswanya. Bahkan ketika beliau berpulang ke pangkuanNya, yang mengusung keranda beliau adalah siswa-siswa yang dalam kesehariannya  tergolong pada siswa yang (maaf) “bandel”. Kejadian Itu membekas didalam benakku dan kuyakini bahwa sesungguhnya tantangan terbesar bagi seorang guru adalah mampu “menaklukkan” siswa dengan predikat “bandel” tadi.

Merupakan hal yang paling menyenangkan bagiku ketika mengajar didalam kelas,  para siswa tertarik pada setiap pertunjukan yang kutampilkan.  Bagaikan seorang artis di dalam kelas yang mampu menghipnotis para penggemarnya dan siap berkolaborasi melakukan apa yang diminta oleh artis yang dipujanya. Batinku benar-benar terpuaskan jika pertunjukkan yang kutampilkan pada mereka mampu merubah pola pikir bahkan tingkah laku mereka.

Bagaimana aku bisa membuat satu pertunjukan yang mampu memesona para siswaku?  Mengenal karakter siswa dari tiap-tiap kelas yang kumasuki adalah kewajiban. Mengetahui karakter mereka memudahkan bagiku untuk bisa menentukan metode atau model pembelajaran apa yang paling sesuai sehingga proses pembelajaran didalam kelas dapat berlangsung dengan baik. Membuat mereka tertarik, untuk kemudian asyik dan tanpa sadar  tenggelam dalam pembelajaran yang  kulakukan sehingga menumbuhkan rasa ingin tahu terhadap ilmu yang  kuberikan adalah hal yang paling membahagiakan. Namun semuanya tidak selalu berlangsung mudah seperti apa yang kuinginkan.

Sampai saat ini, aku merasa bahagia dan berhasil menjadi guru jika siswa-siswa dengan katagori “bandel”  yang seringkali tidak berminat dalam mengikuti pelajaran atau bahkan membuat keonaran didalam kelas, menjadi akrab denganku dan berminat mengikuti materi pelajaran yang kuberikan serta bisa merubah pola pikir dan prilaku mereka. Terasa ada yang kurang dan rasa yang mengganjal di hatiku jika aku keluar dari kelas dengan keadaan siswa yang diam seribu bahasa karena aku tak bisa memancing minat dan tanya mereka. Ufss, aku jadi merasa sangat lelah dan bersalah.

Kesulitan-kesulitan yang kuhadapi dalam peranku sebagai guru, jika faktor  itu datangnya dari siswa sekuat mungkin akan aku usahakan untuk mencari solusi dan menyelesaikannya dengan baik. Tetapi tidak jarang pula dalam menunjang keberhasilanku sebagai guru faktor kesulitan yang kuhadapi datangnya dari warga sekolah yang lain, apakah dari guru sebagai rekan kerja, kepala sekolah atau yayasan yang mengelola perguruan tempat kumengajar atau bukan tidak mungkin dari para pemangku kebijakan yang terkait di dunia pendidikan. Namun semuanya tidak pernah kuanggap sebagai duka yang aku harus tenggelam didalamnya.

Ikut Menapikan karya orang lain, masih sering aku temukan pada sesama rekan guru. Hal ini yang sering membuatku sulit mengembangkan diri karena berada di lingkungan yang kurasakan tidak mendukung. Belum lagi kebijakan dari Kepala Sekolah yang seolah  menjadi lahan yang tidak subur bagi benih-benih kreativitas yang ingin kutumbuhkan. Atau keputusan-keputusan yang terkadang hanya menguntungkan pihak tertentu. Aku menemukan kesalahan-kesalahan yang sering  dimunculkan tanpa menghargai kelebihan-kelebihan yang kulakukan juga menjadi satu faktor yang kurasakan akan semakin mematikan benih kreativitas. Tetapi sejauh ini, aku tidak menganggap hal-hal tersebut sebagai duka dalam menjalankan profesiku sebagai guru. Aku lebih memilih bersukaria, larut dan asyik masyuk bersama siswa-siswaku di dalam kelas. Maka, bukan tidak jarang aku tidak memperdulikan semua itu. Hal yang terpikir olehku adalah bagaimana siswaku bisa “menikmati pembelajaran” dan berhasil dengan baik. Ntahlah kalau rasaku ini salah.

Wallahu a’lam bishawab.

Rumahku, Menggapai Mardhatillah, Awal Agustus 2018.

Lelahku Terbayar Lunas

LELAHKU TERBAYAR LUNAS

Isminatun

            Tanggal 7 Mei 2018 adalah hari yang sangat melelahkan bagiku. Sebab pukul 07.00 tanggal tersebut merupakan batas akhir pengiriman naskah Lomba Menulis Esai tingkat SMP kabupatenku. Diriku sudah bertekad bulat untuk membimbing siswa kelas VII. Padahal, mereka belum paham apa yang disebut esai. Siswa kelas VIII tak ada yang mau mengikutinya, begitu kata kawanku guru kelas VIII. Kuputuskan untuk memilih bibit dari kelas VII. Masih kuingat jelas prinsip MAN JADDA WAJADA seperti yang dideskripsikan dengan jelas dalam novel Negeri 5 Menara.

Deadline pada tanggal tersebut tidak menjadi masalah jika tak ada kegiatan sebelumnya. Sayangnya, sepekan sebelumnya (terakhir tangal 7 Mei) berlangsung Bintek Kurikulum 2013 yang memaksa diriku terlibat di dalamnya. Praktis, waktu pembimbingan berkurang satu pekan. Ditambah lagi tanggal 6 ada rekan yang punya kerja.

Karena niat telah ditancapkan, usaha harus dimaksimalkan. Tanggal enam malam, sepulang jagong, berusaha menegakkan kepala dan tetap membuka mata tuk cermati karya siswa berupa esai. Jadilah editor di tengah malam. Satu dua kesalahan masih didapatkan. Tetap konsisten di depan komputer hingga larut malam. Pukul 01.15 berhasil mengirim email ke panitia. Pukul 02.00 selesai mengeprin karya siswa tersebut untuk kemudian djilid rapi. Sayang, persediaan mika sedang tidak ada. Namun, malam itu bisa tidur nyenyak sebab telah berhasil mengirimkan karya siswa kepada panitia via email dan siap mengantarkan karya cetak sebelum batas akhir pengiriman.

Tanggal 9 Mei hari penjurian karya esai siswa. Alhamdulillah, esai bimbingan saya masuk nominasi sepuluh besar meski pada urutan terakhir. Mulai berpikir lagi bagaimana cara menerobos masuk tiga besar. Tak ada target besar untuk menjadi teratas. Paling tidak, bisa membawa pulang trophy. Itulah target utama.

Latihan tetap harus digalakkan dan ditingkatkan. Ada waktu dua hari untuk mempersiapkan presentasi pada babak final. Tak urung siswa kuminta datang ke rumah. Tanggal 10 Mei merupakan hari libur. Namun, pada waktu itu ada jatah mengisi Bimtek untuk guru-guru SD. Jadilah kubuat janji untuk melatih siswa sepulang Bimtek.

Latihan di rumah kulakukan meski badan sudah tidak karuan. Maklum, badan yang minta istirahat terpaksa tak diistirahatkan. Rasa lelah timbul tenggelam. Namun, tetap ada semangat untuk menjadi pemenang. Salah satu trophy harus berhasil kubawa pulang. Kan kupersembahkan kepada sekolah yang sekian lama ku mengabdi di dalamnya.

Hari final datang. Persiapan yang dilakukan tuk berlaga di babak final tak perlu diragukan. Semua peserta mempresentasikan karyanya dengan lantang. Tiada yang dapat dilakukan kecuali usaha dan doa. Sebab semua usaha tlah dilakukan.

Saat-saat menegangkan adalah mendengarkan pengumuman. Tropy telah disiapkan bersama uang pembinaan. Semua peserta dan guru pendamping menantinya dengan harap-harap cemas. Alhamdulillah, panitia mengumumkan bahwa siswaku berhasil membawa pulang salah satu trophy yang telah disiapkan.

Saat-saat menggembirakan kunikmati berdua dengan siswa bimbingan. Foto penerimaan piala kukirim kepada pimpinan sekolah. Terdeteksi bahwa beliau membaca doang. Tanpa jawaban dan tanpa komentar. Terima kasih pun tak terucapkan.

Ingin rasanya kuledakkan kemarahan. Mengapa sama sekali tak ada tanggapan? Sementara pemenang dari sekolah lain disambut dengan gegap gempita. Setiap saat pimpinan sekolah menanyakan kabar. Memberi ucapan selamat kepada pembimbingnya.

Marah dan kecewaku mereda setelah hati tercabik-cabik. Muncul kesadaran, untuk apa mengharap ucapan terima kasih? Untuk apa ucapan selamat? Toh, semua yang terjadi adalah sebagai ujian keimanan. Jangan-jangan ini merupakan ujian Allah akan keikhlasanku dalam beramal. Hanya mengharapkan imbalan dan pujian dari manusia? Uih, betapa rendah apa yang kuharapkan.

Kutatap trophy dan senyum siswaku yang berbinar. Ada kegembiraan terpancar darinya. Ada pilu saat mendengar jawab pertanyaan yang kuajukan, “Kan kuserahkan kepada ibu untuk membantu membayar uang kontrakan.” Itulah jawaban menggetarkan yang sungguh di luar dugaan.

Terbayar lunaslah lelahku membimbingnya. Senyum tipis disertai air bening mengiringi sepanjang perjalanan pulang. Teriring istigfar di sepanjang jalan.